Budidaya mutiara

Budidaya mutiara
Kegiatan di rakit

Sabtu, 22 Mei 2010

Budidaya mutiara di NTB

Mutiara merupakan jenis permata yang pertama kali di kenal manusia, karena ditemukan telah dalam bentuk jadi, hal ini terlihat kilauannya yang indah tanpa penggosokan terlebih dahulu. Mutiara mulai tercatat dalam dokumentasi China pada abad ke-23 SM dalam buku Shu King/ Sho Kiang (Chung Tzu). Dalam buku tersebut digambarkan bahwa mutiara adalah sebuah benda yang tidak bisa diukur nilainya. Hal yang sama tersirat juga dalam kitab Rigveda di India ribuan tahun yang lalu. Perdagang mutiara dimulai di China, India dan Sri Lanka antara tahun 2000 – 1500 SM.

Mutiara peninggalan sejarah, tersebar di berbagai Musium di Paris (Louvre). New York (Art), Boston (Fine Art), London (Geology) dengan berbagai tampilan sepertipatung dengan perhiasan mutiara yang dibuat pada abad ke-4 SM. Mutiara dalam sejarah sebagai salah satu pemicu dan rampasan perang yang paling berharga pada zaman kerajaan Romawi.

Palung Bandaneira jutaan tahun yang lalu merupakan sumber kerang Pinctada maxima yang menghasikan mutiara jenis Laut Selatan (South Sea Pearl). Terjadi penyebaran spiecies dengan bibir kuning ke Utara hingga Palawan Philipina dan ke Barat hingga Kepulauan Nicobar. Sedangkan spiecies bibir putih ke arah Timur hingga Papua dan ke arah Selatan hingga Australia. Pada tahun 1880 pasar Eropa mulai mengenai kulit kerang dari Dobo, Makasar, Banda dan Seram. Bahkan sebutir mutiara alam asal Banda menghiasi mahkota Ratu Belanda saat itu.

Percobaan budidaya mutiara di mulai di Pulau Buton pada awal tahun 1918. Percobaan dilakukan oleh Dr. Sukeyo Fujita. Antara tahun 1928 hingga 1932, Fujita berhasil melakukan panen mutiara hasil budidaya antara 8.000 hingga 10.000 butir mutiara pertahun. Sehingga mencapai total produksi sebesar 36.670 butir antara tahun 1935-1938. Pada saat itu mereka memperoleh mutiara berukuran antara 8 mm hingga 10 mm. Ini merupakan keberhasilan karena pada saat itu mutiara Akoya hanya sekitar 5 mm. Fujita melakukan usahanya hingga tahun 1941 yang kemudian di tutup oleh pemerintahan militer Jepang karena PD II.

Usaha budidaya mutiara di Indonesia sebenarnya baru berkembang pada tahun 1970 pada saat di keluarkannya Peraturan Penanaman Modal Asing No. 11 dan Peraturan Penanaman Modal Dalam Negeri No. 12, yang mengijinkan perusahaan asing melakukan investasi di Indonesia. Ada beberapa perusahaan mutiara Jepang yang sebelumnya telah melakukan investasi di Australi masuk ke Indonesia. Mereka itu adalah Nippo Pearl Company, Tayio Gyogyo Ltd., Arafura Pearl Company dan Kakuda Pearl Company

Usaha budidaya mutiara di NTB & NTT dirintis oleh Alm. Pensiunan May.Jend. TNI-AD KRMH Jonosewojo Handayaningrat. Ide melaksanakan usaha budidaya mutiara ini tidak lepas dari keterlibatan Mr. Furuya (seorang desersi tentara Jepang yang saat itu bertugas di Jawa Timur yang saat itu merupakan medan pertempuran Alm. Jonosewojo H. sebagai Panglima teritorial Jawa Timur). Mr. Furuya pernah bertugas di wilayah Indonesia bagian Timur, khususnya NTB dan NTT. Di sini beliau melihat potensi kerang mutiara yang cukup besar, tetapi hanya diburu untuk mendapatkan kulitnya.

Pada awal tahun 1982, Mr. Furuya dan Bp. Jonosewojo H. bersama merintis usaha budidaya mutiara di Tanjung Bero, Sumbawa, NTB. Kegiatan dimulai dengan mengumpulkan dan memelihara kerang alam dengan bekerja sama dengan CV Siput Agung (perusahaan lokal). Kerang yang di kumpulkan berasal dari NTB dan NTT.

Pada tanggal 8 Juli 1983 terbit Surat Persetujuan Tetap Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 107/I/PMDN/1983, memberikan persetujuan PT Paloma Agung melakukan investasi PMDN dalam kegiatan usaha budidaya mutiara di NTB. Usaha ini mendapat dukungan positif dari Gubernur NTB saat itu Alm Bp. Gatot Soeherman dan Bupati Sumbawa saat itu Alm Bp. Madilaoe. Pada mulanya usaha ini banyak mendapat kesulitan karena telah banyaknya kegiatan pengumpulan kulit kerang yang merupakan kegiatan yang telah dilakukan sejak lama. Sehingga pada tahun 1985 dikeluarkan Peraturan Perikanan No. 9 untuk melindungi keberadaan kerang alam, yakni dengan pelarangan pemburuan kerang alam untuk diambil kulitnya. Sehingga pengambilan kerang mutiara alam hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan usaha budidaya mutiara. Sedangkan kebutuhan kulit kerang dipenuhi dengan hasil sisa usaha budidaya mutiara. Dengan adanya peraturan ini sangat membantu pengembangan usaha budidaya mutiara di NTB saat itu.

Pada tahun 1985 dilakukan penen mutiara blister/mabe (mutiara setengah bundar) oleh Ir. Achmad Affandi, Menteri Pertanian. Mutiara blister/mabe di buat dengan menempatkan benda setengah bulat terbuat dari plastic di kulit kerang mutiara. Kemudian kerang mutiara akan melapisi benda asing tadi dengan lapisan seperti pada kulit kerangnya. Setelah setahun lapisan tersebut cukup tebal dan blister/mabe tersebut di panen.

Pada tahun 1986 dapat dilakukan panen perdana sebanyak 25 Kg, yang dilakukan oleh presiden M. Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, yang menghasilan devisa sebesar US$. 600,000.00. Momentum ini menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat cepat terhadap pertumbuhan ekonomi di NTB. Semenjak keberhasilan tersebut beberapa perusahan lain juga melakukan investasi budidaya mutiara di NTB dan NTT. NTB yang semula merupakan daerah tertinggal dan kurang menjadi perhatian pemerintah pusat, akhirnya menjadi lumbung beras (Padi Gora) dan menjadi sentra perdagangan dan kerajinan mutiara Indonesia. NTB pada akhirnya menjadi salah satu propinsi penghasil devisa. Dalam 7 tahun terakhir ini devisa yang dihasilkan oleh budidaya mutiara di NTB telah mencapai lebih dari US$. 30 juta, dengan produksi yang diserap pasar dunia lebih dari 3 ton. Disamping mutiara, usaha budidaya mutiara NTB juga menghasilkan kulit kerang lebih dari 350 ton.

Selain sebagai penghasil devisa, usaha budidaya mutiara juga menggerakkan ekonomi daerah terpencil. Masyarakat di sekitar lokasi budidaya mutiara ikut merasakan manfat dari usaha ini. Masyarakat pada daerah terpencil (remote area) umumnya berpendidikan tidak tinggi dan terbatas modal. Usaha budidaya yang merupakan usaha padat modal dan padat karya, memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi pekerja dan mitranya. Mereka yang tidak mempunyai modal dapat menjadi pekerja di usaha budidaya mutiara. Sedang yang mempunyai modal terbatas membangun usaha-usaha untuk mendukung usaha budidaya mutiara. Usaha-usaha tersebut antara lain: usaha suplai air bersih, usaha transportasi, usaha suplai bahan makan/boga, membuat peralatan budidaya dsb. Malahan saat ini telah ada yang berkembang menjadi plasma usaha budidaya mutiara dengan melakukan kegiatan pembesaran spat.

Pertumbuhan usaha budidaya mutiara yang pesat di NTB dan NTT juga menyebabkan pemburuan kerang mutiara alam dilakukan secara besar-besaran. Akibatnya banyak orang tertarik untuk melakukan kegiatan tersebut. Untuk itu semula perusahaan budidaya mutiara mengadakan pelatihan penyelaman. Bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja NTB. Melihat perkembangan situasi ini dan guna mengurangi resiko dalam penyelaman, maka pada tahun 1990 PT Paloma Agung mulai merintis pembiakan/breeding kerang mutiara di Desa Tano, Sumbawa dengan menggunakan tenaga tehnisi lokal..

Penggunaan tehnisi lokal untuk insersi/OP dimulai pada tahun 1991. Sayangnya pertumbuhan jumlah tehnisi lokal tidak seperti yang diharapkan, hal ini disebabkan antara lain karena mahalnya kerang mutiara untuk melatih tehnisi lokal dan tidak adanya pembatasan dalam penggunan tehnisi asing. Seperti diketahui untuk menjaga keterampilannya seorang tehnisi harus melakukan OP minimal 10.000 ekor kerang mutiara pertahun.

Diperkirakan kebutuhan kerang mutiara di NTB saat ini tinggal sekitar 400.000 ekor pertahun (tahun 2007 sekitar 800.000 ekor).

Sejak tahun 2000 usaha budidaya mutiara di Indonesia hampir sebagian besar sudah menggunakan kerang mutiara hasil breeding. Saat ini kualitas kerang mutiara hasil breeding semakin menurun kuantitas dan kualitasnya. Penurunan tersebut diantaranya survivalnya semakin rendah, ukuran semakin kecil dan kulit kerang semakin tipis dan rapuh. Untuk menghasilkan kerang hasil breeding yang baik diperlukan induk kerang alam yang tinggi kualitasnya. Oleh karenanya setiap perusahaan budidaya yang telah melakukan breeding membutuhkan sekitar 10.000 ekor kerang mutiara alam untuk mempertahankan kualitas produksi mutiaranya. Kerang mutiara alam yang tersedia juga semakin kurang baik kualitasnya sehingga sangat mempengaruhi kualitas mutiara yang dihasilkan nantinya. Sangat diharapkan adanya dukungan pemerintah untuk mengembangkan kerang mutiara unggul dan terpeliharanya mereka dengan aman di konservasi kerang mutiara. Sehingga pengambilan kerang mutiara alam terkendali.

Pada tahun 2005 usaha budidaya mutiara Indonesia mulai mengalami penurunan akibat melemahnya ekonomi global dan menurunnya harga mutiara Indonesia di pasar dunia. Telah terjadi kelebihan pasokan pada pasar dunia yang pertumbuhannya hanya antara 5 s/d 10 persen pertahun. Meskipun demikian sebenarnya minat pasar dunia akan mutiara jenis South Sea Pearl yang berkualitas tetap tinggi..

Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI) didirikan pada tanggal 20 Oktober 1994 di Jakarta.

Budidaya Mutiara

Penjelasan singkat tentang budidaya mutiara.

Pendahuluan.

Budidaya Mutiara merupakan salah satu usaha budidaya perikanan yang menghasilkan produk non-edible (bukan untuk dimakan), karena produk yang dihasilkan berupa batu permata (Gemstone). Untuk dapat berhasil dalam usaha budidaya mutiara, maka diperlukan lingkungan yang tidak berbeda dengan habitat alam kerang mutiara hidup. Untuk usaha budidaya mutiara yang dikembangkan di Indonesia saat ini baru pada jenis Pinctada maxima yang menghasilkan South Sea Pearl. Dalam rangka menjaga kelestarian sumber dan lingkungan hayati dan menghindari penangkapan secara berlebihan atas kerang jenis ini dan perlu untuk tersedianya bahan baku utama dalam usaha budidaya mutiara, maka usaha budidaya mutiara saat ini tidak dapat lagi mengandalkan kerang alam liar. Oleh karenanya usaha budidaya mutiara di Indonesia saat ini hampir seluruhnya menggunakan kerang hasil pembiakan (breeding).

Kegiatan usaha budidaya mutiara di Indonesia secara garis besar terdiri dari beberapa tahapan:

  1. Pembiakan. Dengan menggunakan kerang alam liar yang diperoleh dari nelayan-nelayan penyelam kerang atau kerang-kerang hasil breeding yang terbaik, maka dilakukan pengembangbiakan. Pengembang biakan dilakukan dilaboratorium, milik perusahaan budidaya mutiara. Setelah berumur 60 sampai 70 hari larva bakal kerang di turunkan ke laut.
  2. Pembesaran spat. Larva bakal kerang yang telah berumur 60 sampai 70 hari di pelihara di perairan laut yang bersih, cukup plankton (ada mangrove dan terumbu karang), tidak tercemar, jauh dari hunian dan tidak bergelombang besar. Biasanya sampai usia 90 hari jumlah larva bakal kerang yang bertahan hidup maksimum 10%. Untuk perairan di NTB saat ini rata-rata hanya 3,5%. Setiap bulan sekali kerang kecil (spat) dibersihkan dan disortir sesuai dengan pertumbuhannya. Pada saat ukurannya sudah mencapai 4 cm, biasanya spat tersebut dipindahkan ke perairan yang lebih terbuka dan lebih banyak plankton. Biasanya kerang dewasa yang dapat di-insert untuk mutiara setelah berusia antara 15 hingga 24 bulan. Pertumbuhan kerang tidak sama, dipengaruhi banyak faktor; antara lain perairan, temperatur, plankton dll.
  3. Operasi atau inserting. Kerang dewasa atau yang dapat dioperasi/ inserting adalah yang telah mencapai ukuran di atas 16 cm (tetapi saat ini di NTB sudah di OP saat 10 cm dan tanpa Yokse). Untuk inserting diperlukan bibit/ nukleus atau inti mutiara dan mantel/donor (Saibo). Untuk menghasilkan mutiara yang baik diperlukan nukleus terbaik yang dibuat dari kulit kerang air tawar sungai Mississippi, USA, jenis Pigtoe. Oleh karenanya nukleus di-impor sebagai bahan inti/ bibit pada kegiatan budidaya mutiara. Biasanya kerang yang tetap berisi nukleus setelah 40 hari (Tento), hanya sekitar 80%, sisanya memuntahkan nukleus yang diisikan padanya.
  4. Pemeliharaan setelah OP. Setelah dilakukan inserting/ penanaman nukleus, maka kerang tersebut dimasukan ke dalam jaring/poket dan dipelihara di laut yang lebih dalam. Proses pemeliharaan ini bervariasi antara 20 bulan hingga 36 bulan. Semakin lama pemeliharaannya akan menghasilkan mutiara yang lebih besar dan lebih bercahaya, sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Selama masa pemeliharaan ini setiap bulan kerang dibersihkan dari kotoran yang menempel padanya. Biasanya kerang yang tetap dapat hidup pada periode ini hanya sekitar 50%. Tiga bulan sebelum panen, dilakukan pemeriksaan isi mutiara di dalam kerang dengan menggunakan peralatan X-ray. Kerang-kerang yang masih ada mutiaranya yang terus dipelihara dengan insentif dan pengamanan penuh.
  5. Panen mutiara. Bila ketebalan lapisan mutiara (nacre) telah memenuhi standar Internasional, maka dilakukan panen. Biasanya dari seluruh kerang yang di panen hanya 70% yang berisi mutiara.
  6. Pasca panen. Dilakukan grading terhadap mutiara hasil panen. Grading ini sangat menentukan untuk mengetahui berapa banyak mutiara yang dihasilkan yang dapat dijual terutama pada pasar internasional. Biasanya untuk mutiara yang di hasilkan di perairan di NTB hanya sekitar 80% yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat di jual (Yang memenuhi standar international sekitar 70%). Selebihnya gagal. Saat ini dengan jatuhnya harga mutiara dunia menyebabkan semakin sedikitnya penerimaan yang diperoleh pengusaha budidaya mutiara.

Grading mutiara:

1) Color/ Warna (pink, white, silver, gold, champagne, yellow, cream)

2) Shape/ Bentuk (drop, oval, round, near round, button, baroque, circle)

3) Lustre/ Kemilau (hight, medium, low)

4) Size/ Ukuran (8 – 20 mm)

5) Flaw/ Cacat (No spot, few spot, a few spot, some spot, many spot)

6) Nacre Thickness

  1. Penjualan. Penjualan mutiara oleh perusahaan budidaya mutiara anggota ASBUMI adalah dengan cara lot loose pearl; artinya mutiara tidak diikat dalam bentuk perhiasan atau sejenisnya, tetapi dikelompokkan dalam kantung-kantung. Selanjutnya dijual secara lot (kantung).
  2. Produk akhir perhiasan. Pemakai umumnya membeli produk akhir dalam bentuk perhiasan yang di produksi oleh industri perhiasan. Perjalanan mutiara dari sejak di jual oleh Usaha Budidaya Mutiara hingga menjadi perhiasan melalui mata rantai perdagangan yang panjang dan nilai yang meningkat cukup besar. Nilai tambah yang besar ini dinikmati oleh para pedagang dan industri perhiasan. Sedangkan harga jual pengusaha budidaya mutiara sangat tergantung pada harga rata-rata mutiara dunia di kalangan pedagang. Dua tahun terakhir ini harga mutiara dunia merosot di bawah harag produksi. Ini disebabkan telah terjadi kelebihan suplai oleh mutiara kualitas rendah yang sangat jauh diatas kebutuhan mutiara di pasar dunia. Oleh karenanya kedepan diharapkan hanya mutiara berkualitas baik yang di ekspor. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan akan mendorong usaha bididaya dilaksanakan lebih baik dengan orientasi kualitas dan tidak kuantitas semata.

Senggigi, 2010

Bambang Setiawan

indosspear@yahoo.com